Friday, January 3, 2014

IT Doesn’t Matter

Teknologi Informasi yang semakin tersedia dan mudah didapatkan berpengaruh terhadap strategi ivestasi TI. Nilai strategis teknologi informasi dalam memenangkan persaingan global semakin berkurang. Hal tersebut membuat pendekatan manajemen investasi TI berubah secara dramatis.

Dalam sebuah paper Nicholas G. Carr (2003) mengemukakan tentang pengaruh TI informasi dalam memenangkan persaingan global bagi perusahaan. Pada awal perkembangan TI, investasi TI yang tinggi membuat perusahaan memiliki keuntungan strategis dalam menguasai pasar.

Berbagai riset pada saat itu menunjukan bahwa penguasaan dan penggunaan TI dalam mendukung proses bisnis telah berdampak besar bagi perusahaan dalam memenangi persaingan. Hal ini dikarenakan pada saat itu TI merupakan suatu hal yang masih mahal untuk didapat, sehingga nilai strategis TI sangat tinggi.

Pendahuluan

Pada tahun 1968 seorang insinyur muda Intel bernama Ted Hoff telah menemukan cara untuk menempatkan sirkuit yang dibutuhkan untuk proses komputer dalam sebuah silikon kecil. Penemuan mikroprosesor ini memicu terobosan teknologi komputer desktop, jaringan, perangkat lunak, dan internet yang akan mengubah dunia usaha. Saat ini tidak bisa disangkal bahwa Teknlogi Informasi sebagai tulang punggung bisnis.

Dengan perkembangan dan kehadiran IT yang semakin luas, perusahaan melihat hal itu sebagai sumber daya yang sangat penting bagi kesuksesan perusahaan, fakta tersebut terlihat dari berapa besar belanja  TI mereka. Menurut studi US Departement of Commerce’s Bereau of Economic Analysis pada tahun 1965 hanya kurang dari 5% belanja modal perusahaan di Amerika untuk Teknologi Informasi. Setelah perkembangan personal komputer di awal tahuan 1980an meningkat menjadi 15%, pada awal tahun 1990an telah mencapai lebih dari 35%, dan pada akhir dekade mencapai hampir 50%. Bahkan pada saat ini belanja IT di seluruh dunia telah menghabiskan 2 triliun dolar untuk mendukung bisnis.

Kedudukan TI jauh lebih besar dibandingkan dengan uang. Hal ini terbukti dalam pergeseran sikap Manager. Dua puluh tahun yang lalu sebagian besar eksekutif memandang rendah komputer hanya sebagai alat proletar seperti kalkulator dan mesin tik yang sebaiknya diserahkan kepada karyawan bagian operasional seperti sekretaris, analis dan teknisi. Seorang eksekutif jarang menggunakan komputer apalagi menggabungkan teknologi informasi ke dalam pemikiran strategisnya. Sekarang hal itu berubah total, seorang eksekutif secara rutin berbicara tentang nilai strategis dari TI. Bagaimana mereka dapat menggunakan TI untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dengan melakukan digitalisasi model bisnis mereka. Sebagian besar mereka telah menunjuk “chief information officer” sebagai manager tim TI, dan telah banyak mempekerjakan perusahaan konsultan TI untuk memberikan ide-ide segar tentang bagaimana memanfaatkan IT untuk mendapatkan perbedaaan dan keuntungan kompetitif dalam berbisnis.

Pada awal perkembangan TI terdapat pemikiran atau asumsi sederhana bahwa potensi TI dan ketersediaannya yang semakin meningkat, demikian juga nilai strategisnya akan meningkat. Ini merupakan suatu asumsi yang masuk akal bahkan intuitif. Tapi ternyata hal itu salah, karena yang membuat sumber daya benar-benar strategis, yang memberikan kemampuan untuk menjadi dasar bagi keunggulan kompetitif yang berkelanjutan adalah karena hal tersebut tidak tersedia ditempat lain atau langka. Keunggulan kompetitif atas saingan akan dimiliki adalah ketika melakukan sesuatu yang mereka tidak bisa lakukan atau tidak mereka miliki. Saat ini fungsi dari TI sebagai penyimpanan data, pengolahan data, dan transportasi data telah teresedia dan terjangkau bagi semua. Potensi dan ketersedian TI telah berubah dari sumber daya yang strategis menjadi komoditas produksi. TI telah menjadi biaya rutin dari kegiatan bisnis yang harus dibayar oleh semua perusahaan tanpa memberikan perbedaan dalam mendapatkan keuntungan.

TI dipandang sebagai seri terbaru dari dalam serangkaian adopsi teknologi yang telah memperjelas industri selama dua abad terakhir seperti dari mesin uap dan kereta api dan dari telegrap ke telepon. Pada periode ini mereka membangun infrastruktur bisnis, semua teknologi itu membuka peluang bagi perusahaan untuk melihat kedepan mendapatkan keuntungan yang nyata. Tapi karena ketersediaan yang meningkat dan biaya yang semakin berkurang mereka menjadi tersedia dimana-mana dan menjadi komoditas input. Dari sudut pandang strategis, hal itu semakin terlihat menjadi tidak lagi memiliki nilai strategis. Itulah yang terjadi pada TI saat ini.

Berkurangnya Nilai Strategis 

Banyak komentator mempunyai pandangan bahwa perkembangan TI telah berpengaruh terhadap pola investasi. Teknologi telah berperan dalam perkembangan kegiatan bisnis atau operasi bisnis.

Peranan teknologi dalam dunia bisnis harus dibedakan antara pemilik teknologi (proprietary technology) dan infrastruktur teknologi. Proprietary teknologi dapat dimiliki oleh sebuah perusahaan. Misalnya sebuah perusahaan farmasi dapat mempunyai hak paten untuk komposisi bahan-bahan dasar dalam membuat obat. Sebuah industri manufaktur dapat menemukan cara yang inovatif dalam teknologi proses yang tidak dapat dimiliki atau dilakukan perusahaan lain. Selama mereka memiliki hak cipta, teknologi tersebut dapat menjadikan mereka memiliki keunggulan dalam bisnis dibanding perusahaan pesaing.

Infrastruktur teknologi menawarkan nilai atau manfaat lebih ketika digunakan bersama-sama dibandingkan hanya digunakan sendiri. Bayangkan di awal abad ke-19, bahwa ada satu perusahaan manufaktur yang memiliki hak cipta untuk semua teknologi untuk membangun kereta api dan jaringannya. Jika mereka mau, mereka hanya akan membangun jaringan jalan diantara pemasok, konsumen dan perusahaannya. Tapi demi kegiatan perekonomian yang lebih luas dibangunlah infrastruktur yang lebih luas yang menghubungkan berbagai perusahaan dan konsumen. Sehingga karakteristik dan nilai ekonomi infrastruktur teknologi menjadi bagian umum dari infrastruktur bisnis.

Pada awal fase buildout, sebuah infrastruktur teknologi bisa menjadi teknologi eksklusif. Selama akses terhadap akses terhadap teknologi tersebut dibatasi, adanya hak cipta, biaya yang tinggi, dan belum adanya standar maka teknologi tersebut dapat digunakan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan lebih dibandingkan perusahaan saingan. Misalnya pada sekitar antara 1880 dan awal abad ke-20 dimana listrik menjadi sumber daya yang langka pada saat itu. Hanya beberapa perusahaan besar yang mempunyai jaringan listrik sendiri, hal ini memberi keuntungan bagi mereka untuk memenangkan persaingan bisnis.

Perusahaan juga dapat unggul dari pesaing dengan keunggulan dalam penggunaan teknologi baru. Sebagai contoh teknologi listrik, sampai akhir abad 19 sebagian besar perusahaan manufaktur mengandalkan tekanan air atau uap untuk mengoperasikan mesin mereka. Sumber listrik berasal dari dari sebuah kincir air yang menggunakan sistem yang rumit untuk menjalankannya. Ketika generator pertama diperkenalkan, banyak perusahaan hanya mengadopsi mereka sebagai listrik pengganti. Tapi bagi perusahaan yang lebih inovatif, dapat melihat peluang keuntungan yang lebih besar. Teknologi listrik tidak hanya sebagai sumber pembangkit listrik utama, tapi juga sumber energi untuk membantu operasional dan distribusi hasil perusahaan. Sehingga perusahaan bisa mendapatkan efisiensi dibandingkan perusahaan saingan mereka.

Selain itu teknologi baru yang lebih efisien juga dapat mengubah pasar. Misalnya perkembangan penggunaan kereta api yang dapat mengangkut barang jadi atau hasil produksi lebih cepat, lebih banyak, dan jangkauan yang lebih luas dibandingkan dengan kapal uap menjadikan perusahaan produksi mempunyai kesempatan untuk berkembang lebih besar.

Pada akhir fase buildout, peluang untuk mendapatkan keuntungan individu semakin berkurang. Aktivitas investasi yang cepat untuk memenangkan kompetisi, kapasitas yang lebih besar, dan harga teknologi yang semakin berkurang, membuat teknologi bisa dikases secara luas dan terjangkau. Pada saat yang sama, buidlout memaksa individu untuk mengadopsi teknologi menjadi lebih standar sehingga dalam prakteknya mudah dipahami dan ditiru.

Infrastruktur teknologi berpengaruh pada tingkat ekonomi makro tapi tidak pada tingkat individu perusahaan. Intinya  teknologi potensial untuk membedakan satu perusahaan dengan perusahaan lain adalah pada  nilai strategis yang tidak  dapat diakses atau dilakukan oleh yang lain.

Asumsi awal bahwa peluang untuk mendapatkan keuntungan dari TI adalah tak terbatas. Pada kenyataannya keuntungan yang dapat diambil dari infrastruktur teknologi hanya sekejap, karena teknologi dalam kegiatan bisnis semakin terus berkembang dan bersifat dinamis.

TI sebagai Komoditas

Layaknya  perkembangan teknologi transpotasi, TI lebih bernilai ketika digunakan bersama dibandingkan digunakan sendiri. Sejarah perkembangan TI dalam dunia bisnis adalah meningkatnya interkoneksi dan interopabilitas dalam jaringan lokal sampai global.

TI menjadi sebuah komoditas dalam bisnis. Dalam prakteknya TI sangat mudah untuk ditiru baik untuk perangkat lunak ataupun infrastruktur jaringan. Dan juga kegiatan bisnis dan proses bisnis  dapat ditanamkan dalam sebuah perangkat lunak. Sehingga ketika suatu perusahaan membeli sebuah aplikasi umum mereka juga membeli proses bisnis yang ada didalamnya.

Kehadiran internet telah mempercepat TI sebagai komoditas yang menyediakan berbagai aplikasi bagi perusahaan. Banyak perusahaan memenuhi kebutuhan TI dengan membeli layanan berbasis web dari pihak ketiga sebagaimana perusahaan membeli listrik dan telekomunikasi. Penurunan harga di bidang TI sangat cepat. Artinya dengan perkembangan teknologi komputer yang semakin canggih harga komputer semakin menurun drastis.

Karena TI sudah menjadi komoditas, maka peluang untuk mendapatkan keuntungan lewat penggunaan TI semakin berkurang. Hal ini karena TI semakin mudah didapatkan dan tersedia bagi siapapun, sehingga TI menjadi hal yang umum dimiliki perusahaan dalam melakukan operasionalnya.

Dari Agresif  jadi Bertahan

Dari sudut pandang praktis, pelajaran penting yang dapat diambil dalam memandang infrastruktur teknologi adalah kita harus memperhatikan risiko dari investasi TI yang dianggap mempunyai nilai strategis pada tertentu.

Pada level manajemen harus lebih teliti dalam mengevaluasi hasil dari sebuah investasi, lebih kreatif dalam mengeksplorasi alternatif teknologi yang lebih murah dan sederhana, lebih terbuka terhadap outsourcing dan kemitraan lain.

Banyak pengeluaran yang dilakukan perusahaan merupakan strategi dari vendor.  Dimana mereka memaksa perusahaan untuk membeli komputer, aplikasi, dan perlengkapan jaringan lebih sering dari yang dibutuhkan. Sudah saatnya bagi perusahaan untuk memangkas biaya pengeluaran mereka, membuat kontrak jangka panjang yang menjamin kegunaan investasi PC, dan menentukan batasan biaya upgrade. Dan jika vendor menolak perusahaan harus bisa eksplorasi solusi yang lebih murah, termasuk aplikasi open-source.

Perusahaan selain lebih pasif dalam investasi juga harus lebih bijak dalam penggunaan TI. Misalkan dalam penggunaan layanan penyimpanan data yang menjadi salah satu pengeluaran besar bagi perusahaan. Dalam hal ini penggunaan penyimpanan data disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan sehingga lebih efektif dalam pengeluaran biaya.

Karena cepatnya perkembangan teknologi, menunda investasi IT merupakan cara ampuh dalam memotong biaya juga mengurangi kemungkinan perusahaan terbebani teknologi usang.

Kehawatiran manajer bahwa pengeluaran yang kecil bagi TI akan membuat mereka tidak kompetitif tidak selamanya benar. Tapi dalam sebuah studi tentang pengeluaran IT sebuah perusahaan bahwa pengeluaran yang besar tidak selalu menghasilkan pendapatan yang besar pula. Faktanya pada tahun 2002 perusahaan konsultan Alinien membandingkan pengeluaran TI dan pendapatannya dari 7500 besar perusahaan di Amerika dan menemukan bahwa perusahaan yang berada pada posisi atas cenderung menjadi perusahaan yang sedikit dalam pengeluaran untuk TI.

Kunci keberhasilan untuk sebuah perusahaan, tidak lagi untuk mencari keuntungan atau investasi secara agresif tapi  dengan mengelola biaya  dan risiko dengan cermat.

Demikianlah ulasan dari paper IT Doesn't Matter yang intinya saat ini nilai strategis TI bagi perusahaan adalah pada saat teknologi atau inovasi teknologi  tidak dimiliki atau tidak dapat diadopsi perusahaa lain. Selanjutnya TI saat ini merupakan komoditas yang wajib dimiliki oleh perusahaan, namun invetasi TI haruslah bijaksana sesuai dengan keperluan dan pertimbangan Return of Investement (ROI) dengan baik.

Referensi:
Carr, Nicholas, "IT Doesn't Matter," Harvard Business Review, May, 2003, Reprint IT R0305B, pp. 5-12

Previous Post
Next Post

0 comments: